Kepemilikan tanah mengandung 2 aspek pembuktian agar kepemilikan tersebut dapat dikatakan kuat dan sempurna, yaitu:
a. Bukti Surat
Bukti kepemilikan yang terkuat adalah sertifikat tanah, namun itu tidaklah mutlak. Artinya, sebuah sertifikat dianggap sah dan benar selama tidak terdapat tuntutan pihak lain untuk membatalkan sertifikat tersebut. Dan ketidakmutlakan itu untuk menjamin asas keadilan dan kebenaran. Oleh karenanya, ada 4 hal pokok dan sangat prinsip yang wajib dipenuhi dalam penerbitan sertifikat hak atas tanah, yaitu:
- Status dan dasar hukum (atas hak kepemilikan). Hal ini untuk mengetahui dan memastikan dengan dasar apa tanah tersebut diperoleh, apakah hal itu didapat dengan proses jual beli, hibah, warisan, tukar-menukar, atau dari hak garap tanah negara, termasuk juga riwayat tanahnya tersebut.
- Identitas pemegang hak atau yang dikenal dengan kepastian subjek. Untuk memastikan siapa pemegang hak sebenarnya dan apakah orang tersebut benar-benar berwenang untuk mendapatkan hak atas tanah yang dimaksud.
- Letak dan luas obyek tanah atau kepastian obyek. Hal ini, diwujudkan dalam bentuk surat ukur atau gambar situasi guna memastikan di mana letak atau batas-batas dan luas tanah tersebut agar tidak tumpang tindih dengan tanah orang lain, termasuk untuk memastikan obyek tanah tersebut ada atau tidak ada "fiktif".
- Prosedur penerbitan atau prosedural. Harus memenuhi asas publisitas, yaitu dengan mengumumkan pada kantor kelurahan atau kantor pertanahan setempat tentang adanya permohonan hak atas tanah tersebut, agar pihak lain yang merasa keberatan dapat mengajukan sanggahan sebelum pemberian hak (sertifikat) itu diterbitkan dan pengumuman tersebut hanya diperlukan untuk pemberian hak atau sertifikat baru bukan untuk balik nama. Dan prosedur teknis lainnya sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah tentang Pendaftaran Tanah (PP No. 24 tahun 1997).
Bilamana terdapat cacat hukum, dengan kata lain tidak memenuhi syarat dari salah satu atau lebih dari 4 prinsip di atas, maka konsekuensinya pihak ketiga yang mempunyai kepentingan terhadap tanah tersebut dapat mengajukan permohonan pembatalan sertifikat, baik melalui Putusan Pengadilan ataupun Putusan Menteri Negara Agraria atau Kepala Badan Pertanahan Nasional.
Selain sertifikat, terdapat pula bukti surat lainnya yang biasa dikenal dengan nama Girik, Ketitir, Ireda, Ipeda, SPPT (PBB) untuk tanah-tanah milik adat atau tanah garapan. Namun sebenarnya, dokumen tersebut bukanlah tanda bukti kepemilikan, tetapi tanda bukti pembayaran pajak. Hal ini dapat membuktikan bahwa orang pemegang dokumen tersebut adalah orang yang menguasai atau memanfaatkan tanah tersebut yang patut diberikan hak atas tanah.
Di dalam praktiknya, dokumen sejenis ini cukup kuat dijadikan dasar permohonan hak atas tanah atau sertifikat, karena pada dasarnya hukum tanah kita bersumber pada hukum tanah adat yang tidak tertulis. Hal ini, dapat dilihat pada pasal 5 Undang-Undang Pokok Agraria tahun 1960.
b. Bukti Fisik
Bukti ini berfungsi sebagai kepastian bahwa orang yang bersangkutan benar-benar menguasai secara fisik tanah tersebut dan menghindari terjadi dua penguasaan hak yang berbeda, yaitu hak atas (fisik) dan hak bawah (surat). Hal ini, penting di dalam proses pembebasan tanah, khususnya dalam pelepasan hak atau ganti rugi, dan untuk memastikan bahwa si pemegang surat atau sertifikat tersebut tidak menelantarkan tanah tersebut karena adanya fungsi sosial tanah.
Untuk aspek legalnya dan guna mencegah kerugian di kemudian hari ada beberapa hal yang perlu diperhatikan antara lain:
- Pengecekan keabsahan sertifikat tanah di kantor pertanahan setempat dan memastikan rumah tersebut letaknya sesuai dengan gambar situasi di sertifikat.
- Memastikan bahwa si penjual adalah pemegang hak yang sah atas rumah tersebut dengan cara memeriksa buku nikah dan Fatwa Waris, untuk mengetahui siapa saja ahli waris yang sah, karena harta tersebut adalah harta warisan dari suaminya.
- Meminta surat keterangan dari pengadilan negeri setempat, apakah rumah tersebut dalam sengketa atau tidak.
- Meminta keterangan tentang advis planning dari Kantor Dinas Tata Kota setempat untuk mengetahui rencana perubahan peruntukan di lokasi tersebut.
- Memeriksa Izin Mendirikan Bangunan (IMB) untuk memastikan apakah renovasi tersebut sesuai dengan IMB perubahannya. Jika tidak bangunan itu bisa disegel atau denda.
- Memastikan yang menandatangani AJB dari pihak penjual adalah ahli waris yang sah atau setidaknya mempunyai kuasa untuk kepentingan tersebut.
Semua transaksi tanah dan bangunan bisa dilakukan dengan aman apabila sesuai dengan prosedur legal yang berlaku.
Comments
Post a Comment