Skip to main content

Paradigma Manajemen Syari'ah

Perubahan lingkungan yang akan datang terjadi mendesak manajemen untuk membuka diri pada dampak perubahan lingkungan eksternal dan transformasi visi, misi dan strategi, serta adaptasi kultur, struktur dan sistem. Perubahan ini membentuk keterbukaan manajemen secara keseluruhan untuk menggapainya. Oleh karena itu, harus ada perubahan konsep, yaitu konsep yang dulu mengandalkan pada supper stars menuju pada konsep supper teams, sehingga harus berani membongkar dan menanggalkan pemikiran yang usang masa lampau menuju pada kapasitas dan kredibilitas kepemimpinan dan manajemen organisasi, sehingga mampu melakukan gugatan berupa keberanian moral untuk merubah mentalitas "pedagang" menuju entrepreneur yang profesional. Hal ini saja belum cukup, namun perlu didasarkan pada hubungan yang humanis, bahkan sampai kepada pendekatan theologis-etis. Pendekatan ini penting, karena pendekatan ini mampu berperan sebagai akselerator bagi terciptanya pola interaksi manajer dengan pekerja yang humanis, dimana kerja akan dirasakan baik oleh manajer maupun pekerja, sebagai wahana humanisasi diri dan realisasi kediriannya.

Pendekatan atau kerangka manajemen theologis-etis mengarah pada keterlibatan dimensi spiritual dalam perilaku manajemen. Spiritualitas membawa kepada wujud semesta dan ilahi. Kenyataan yang tidak sepenuhnya dapat dipahami akhirnya akan membawa kepada pengalaman dan penghayatan atas yang transenden. Transenden itu sudah menjadi kebutuhan baru, yakni self transendence. Dalam hirarki kebutuhan sebagaimana yang diteorikan Abraham Maslow, maka self transendence dapat diletakkan di atas jenjang kebutuhan tertinggi, yaitu self-actu alization.

Di samping itu ada juga yang menemukan sistem dalam alam semesta. Juga ada yang menemukan Allah atau Tuhan dalam pengalaman transendennya. Bagi mereka ini kegiatan yang relevan adalah amal dan ibadah. Sehingga kunci keberhasilan dalam hidup ini adalah iman dan ketaatan. Iman dan ketaqwaan atau ketaatan membuahkan makna hidup dan keselamatan bagi manusia dan kemuliaan bagi Allah dan ciptaan-Nya.

Selanjutnya, bagaimana caranya untuk keluar dari kendala struktural manajemen yang terkait, baik dengan kebijaksanaan ekonomi negara maupun tuntutan pasar? Solusinya adalah menciptakan kesadaran emansipatoris yang pada gilirannya terwujud dalam pola hubungan manajer pekerja. Selanjutnya, dorongan theologis-etis dapat berperan sebagai akselerator bagi terciptanya pola interaksi manajer-pekerja yang humanis.

Oleh karena itu, pendekatan theologis-etis tidak hanya bersifat himbauan semata bagi kesadaran untuk mengubah manajemen yang selama ini cenderung menjadikan manajer dan pekerja sebagai "sekerup-sekerup" proses produksi. Jika mau memulainya dari transformasi radikal terhadap struktur manajemen dalam lingkup keseluruhan, baik perusahaan maupun negara.

Manajemen Islam dibangun atas tiga ranah, yaitu: manajemen, etika dan spiritualitas. Ketiga ranah ini membentuk hubungan yang tidak terpisahkan. Ketiga ranah berjalan membangun kekuatan dalam menjalankan amanah. Dengan demikian, jika suatu proses manajemen berjalan menjalankan amanah, maka amanah merupakan metafora yang akan dibentuk. Dengan demikian, jika metafora amanah yang akan dan telah dibentuk, maka di dalamnya akan ditemukan tiga hal penting, yaitu: pihak pemberi amanah, pihak penerima amanah dan amanah itu sendiri.(Lihat Iwan Triyuwono, 1997).

Secara umum, dalam manajemen islami keberadaannya harus mengkaitkan antara material dan spiritual atau antara iman dan material. Dengan demikian, untuk mengukur keberhasilan dalam menjalankan manajemen dapat diukur dengan parameter: iman dan materi. Parameter ini diharapkan dapat mengidentifikasi sejauh mana tingkat iman seseorang dengan etos kerjanya.

Implikasi penerapan paradigma manajemen islami akan menciptakan peradaban (manajemen) bisnis dengan wawasan humanis, emansipatoris. trandendental dan teologikal.(Lihat pula Kuntowidjojo, 1991) 


Comments

Edukasi Terpopuler

Connect With Us

Copyright @ 2023 beginisob.com, All right reserved